Apa artinya demokrasi, bila kemiskinan hanya sekedar tanda yang musti terus
dimaklumi, memenuhi baris-baris redaksi di koran pagi, atau semacam hidangan
pahit saat minum kopi?
Cemas yang bisu, sepotong langit terlihat di luar jendela kamarku. Lalu sebuah
pena, catatan aksi massa, biografi Tan Malaka, agenda yang telah kehilangan
semangatnya, juga teriakan putus asa: "Aku tak ingin mencari kerja!"
Siapa yang peduli. Wow, ada anak perempuan diperkosa polisi. Kebenaran adalah
boklam 15 watt di kamar mandi. Jam mati. Realitas jadi sekeras batu dan tameng-tameng
besi. Huru-hara lagi. Wakil rakyat sibuk menghitung kekuatan untuk menjatuhkan
dirinya sendiri. Hopla! Spiral kekerasan Holder Camara kini terbukti.
Aku makin merasa tak bisa percaya. Aku makin merasa ada yang salah dalam struktur
pahit keadilan dunia. Aku makin merasa kehilangan daya pikir. Aku melihat permainan
politik yang mubazir. Aku makin melihat dunia menuju kegilaan yang nyata.
Siapa yang peduli. Di negeri ini demokrasi adalah satu bentuk legitimasi
untuk menindas para petani. Cukai rokok naik lagi. Tak ada pajak untuk hati
nurani. Huuuuaaaah! Gerah benar pagi ini. Ada VOC merindukan padi. Ekstase pestisida!
Selamat jalan ideologi. Berapa sih harga cinta? Guru-guru aksi minta kenaikan
gaji. Murid-murid sibuk berkelahi. Pendidikan: bunuh diri!
Aku memeluk istriku. Selamat pagi, sayangku. Maaf, tak ada uang belanja untukmu.
Tapi di halaman belakang rumah, ada sayur kangkung dan belatung, itu baik buat
kandunganmu. Dan jendela kamar itu makin menampilkan langit dengan warna yang
sama: merah, merah menyala, merah kaum yang terhina, merah bumi jajahan, merah
perlawanan!
Apa artinya demokrasi, jika semua sumber daya yang kami miliki, akhirnya ngendon
ke bank-bank Amerika, juga konco-konco IMF-nya: lalu kami yang terhutang sampai
tujuh turunan, harus menanggung rente dan ampas kewajiban?
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.