Kisah-Kisah dari Halaman Rumah

1

Di sini, di halaman rumahku, ada jalan setapak berbatu, rimbun pohon kenanga, rumpun perdu, dan buah mangga. Jelai-jelai bayam gugur ditiup angin, tumbuh jadi kecambah, jadi batang berdaun cerah, siap disayur dengan santan: ya, di sini, aku melihat siklus kelahiran, kehidupan dan kematian, aku melihat kemurnian.
Di sini, di halaman rumahku, tak ada pohon eboni atau mahoni, yang selalu ditebang untuk memacu devisa luar negeri. Di sini hanya ada pohon lamtara dan seri, buahnya jadi makanan adik-adikku, sambil nonton film kartun di televisi.
Di sini, di halaman rumahku, aku menyaksikan makna keindahan: begitu sederhana, begitu menakjubkan!

2

Di sini, di halaman rumahku, tak ada harimau atau rusa, yang telah diawetkan, jadi hiasan gedung tuan-tuan kaya. Di sini cuma ada kucing yang berguling-guling dengan anaknya.
Di sini tak ada badak yang diburu culanya, atau rombongan gajah yang telah kehilangan habitatnya. Di sini cuma ada ayam-ayam bangkok yang gemar berkelahi, setiap pagi riang berkokok menyambut matahari.
Di sini tak ada ikan paus dan arwana. Di sini hanya ada lele, sepat, mujair, dan nila: jadi hidangan lezat, saat makan siang keluarga.

3

Di sini, di halaman rumahku, aku melihat matahari merah terbakar di kening senja. Seluruh derita dan kepedihan semakin terasa sederhana. Sepasang burung dara yang kupelihara, terbang tak pernah jauh dari sarangnya: pada mereka aku belajar kesetiaan dan cinta.
Di ujung halaman sebelah selatan, tumbuh rimbun berumpun talas, umbinya segar, gemuk dan menggiurkan. Ibuku sering merebusnya jadi panganan: pada mereka aku belajar tawadhu dan keikhlasan.
O, kehidupan, alangkah indahnya tarian sepoi daun-daun ketela, bergoyang riang dihembus angin-angin senja: pada mereka aku belajar bagaimana berdoa, tanpa pikiran dan kata-kata.

4

Di sini, di halaman rumahku yang sederhana, aku melihat Bapak: setia mencangkul tanah, menyiangi pohon-pohon jarak, membersihkan kandang ayam, atau tersenyum melihat kesuburan daun-daun bayam.
"Bila kita selalu mencintai alam, maka alam akan membalasnya dengan kebahagiaan dan cinta," kata Bapak sambil menyeka keringat di keningnya.
Tak ada beban di matanya. Tak ada lawan-lawan politik yang akan dikalahkannya. Tak jabatan yang musti ia pertahankan. Ia telah belajar dari tanah, dari lumpur dan embun pagi: ia telah belajar bagaimana cara mengendalikan diri, bagaimana hidup dengan nurani
"Alam tak pernah berdusta," katanya, sambil kembali mencangkul teras-teras siring pohon panili. Besok pagi, Bapak akan pensiun dari pegawai negeri, dari sikut-menyikut lahan korupsi. Dan hidup bahagia sebagai petani.

5

Di sini, di halaman rumahku yang tak seberapa luasnya, aku mulai mencintai guguran daun-daun lamtara, awan-awan senja, atau jendela yang terbuka.
Di sini, di halaman rumahku yang tak seberapa luasnya, aku mulai mencintai duka.

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.