Malam kabut rimba, bulan setengah purnama. Menembus zonasi Taman Nasional,
tak ada gajah atau badak yang bengal. Mobil mendaki jalan-jalan tanah, angin
membasuh debu-debu gelisah.
"Kita tiba!" kataku, sambil menunjuk ke arah dermaga.
"Apa lagi yang ditunggu?" pancing kawan lama. Lalu, kami pun bergegas
turun ke haluan, bergegas melepas segala kepenatan. Bersama deram perahu motor,
jauh-jauh kami lemparkan pikiran kotor.
Di sini sungai Way Kanan: sayup-sayup terdengar kecipak ikan.
Di sini sungai Way Kanan: arusmu hitam memendam kepedihan.
Dari atas perahu, kusaksikan, kini tepi-tepimu tinggal sisa rimba: tunggul-tunggul
arang, semak-semak liar, juntaian akar, juga bau hangus padang ilalang yang
terbakar. Tak ada bunyi satwa. Hanya kebisuan membekap suasana. Sesekali, terbias
juga cahaya senter patroli jaga: Sedang apa mereka? Menebangi gaharu atau
menjerat rusa?
Di kali biru, kami pun henti. Perahu tersandar di ranting mati. Bergegas kami
siapkan umpan, menggulung tali, mengaitkan cacing — lantas dengan satu teriakan,
kami lemparkan mata pancing. Selanjutnya, hanya menunggu. Melatih kesabaran
di alun waktu.
"Barangkali hanya buaya yang akan memakan umpanku," gerutu kawan baru
— mungkin jemu, mungkin bosan karena menunggu, lalu dengan singut ia membakar
ujung Dji Samsoe.
Apa yang kaubaca dari riak-riak kecil itu, kawanku? Atau mungkin kau terlalu
berharap ada keadilan yang menghampiri mata kailmu?
"Hei! Ada baung memakan umpanku!" teriak kawan lama, sambil cepat
menggulung senar pancingnya.
Begitu seterusnya. Silih berganti kami temui: gembira, kecewa, gembira, kecewa
— pada intinya: bukanlah ikan yang kami pancing, tapi gerak perasaan
pada harap dan hening.
Bulan sorong ke kiri, angin mendadak mati.
Ikan limbat, pelus, baung, dan kating: jadi saksi tentang riwayat ketidakadilan
di ranah pribumi. Bercerita kawan baru: dua tahun lalu, ada seorang lelaki,
penduduk asli, pergi memancing ke sungai ini. Sialnya, ia malah tertangkap patroli.
Ramai-ramai sang pemancing digiring ke pos jaga, dituduh mencuri kekayaan negara,
lalu satu popor senapan tepat menghantam tengkorak kepala. Demikian beredar
cerita, sang pemancing mati disiksa patroli Jagawana.
"Tapi dulu, para pejabat dan orang-orang kaya dari kota, boleh pergi mancing
sepuasnya," gerutu kawan lama. Bulan hilang purnama. Angin membius bau
limbah tapioka. Arus menghapus luka rakyat jelata: tinggal kemunafikan membungkus
sisa-sisa rimba.
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.