Improvisasi Jazz di Pagi Hari

"Tak ada revolusi tanpa cinta!" teriak Che Guevara, dari atas kudanya, berselempang senjata, memasuki gerbang Havana.
Tapi, di sini, tak ada Guevara, atau Tan Malaka. Mereka hanya simbol-simbol sementara, agar revolusi memiliki makna. Atau barangkali, sekedar imajinasi. Tapi, di sini, aku merasa teramat sendiri.
Sejarah selalu dipenuhi dengan kisah-kisah heroik, korban pembantian, plus kebohongan. Pengkhianat atau pahlawan, hanya terminologi yang gampang terlupakan. Tetapi, penindasan akan selalu berulang, dan perlawanan akan bangkit dari jalan-jalan, dari ruang-ruang tahanan, juga kandang-kandang rakyat jelata.
Pagi ini, kulupakan Che, juga Tan Malaka. Kuhirup kopi, sambil membaca Koran pagi: presiden berkunjung ke Kuba, korupsi merajalela di sekretariat negara, harga kopi jatuh di pasaran dunia, hei, ada juga puisi dari seorang kawan di Jakarta.
Apa arti pengangguran di dunia ketiga?
Apa arti kemiskinan di negara-negara utara?
Apa arti penindasan di surga?
Apa arti keadilan di neraka?
Apa arti menjadi manusia yang merdeka?
"Setelah Jawa, Sumatera akan berjaya!" seru Tan Malaka, sambil terus menuliskan kalimat-kalimat perlawanan, mencatat sejarah pahit pergerakan, dari penjara ke penjara.
Apa arti reformasi bagi petani-petani jagung di desa?
Apa arti revolusi bagi gembel-gembel di kota?
Apa arti …..
"….. Wonderful World," mengalun sayup dari CD tetangga.
"Ada panggilan kerja dari pabrik Coca Cola," seru istriku, sambil menyiapkan sarapan pagi, tanpa telur dan rokok Amerika.

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.