REKONSTRUKSI BUDAYA KULI

     Kuli itu kesayangan Tuhan. Seperti amsal tentang domba yang diselamatkan, mengapa kita harus melawan takdir yang telah digariskan?
     Berabad lalu, dari pelosok-polosok tanah jawa, tani-tani hamba diangkut dengan kapal kayu dan kereta. "Ada tanah yang dijanjikan, di sana emas murah dan bebas berjudi!" bujuk calo-calo dari Batavia, sambil tersenyum memamerkan gigi emasnya.
     Lantas berbondong mereka bergerak, digiring bagai ternak, dirampas bekalnya, diperkosa, dan diinjak-injak tubuh coklatnya. Kuli-kuli itu, domba-domba kesayangan Tuhan itu, terpojok tak berdaya. Begerak-bergerak-bergerak. Melintasi alas-alas sumatera. Menyeberangi sungai-sungai swarna dwipa. Mana? Mana tanah yang dijanjikan itu?
     Lantas dimulailah kerja mulia itu, menurunkan surga ke bumi hindia, membuka hutan-hutan, menyemai bibit, menanam tembakau, karet, dan tebu. Tapi, di manakah emas murah itu?
     Tak ada waktu untuk bermimpi. "Hayo kerja, kerja terus, kerja terus sampai mati!" teriak mandor-mandor kuli. Pecut diayunkan, tubuh-tubuh kurus dan kurang makan - domba-domba jinak kesayangan Tuhan - tersungkur di kubangan.
     Hari pasaran tiba. Berdencing recehen, bergambar ratu Belanda, gemetar tangan-tangan kurus para kuli menerimanya. "Kamu boleh berjudi," kata Menir, "Kalau uangmu habis, kamu bisa kontrak lagi, kamu boleh terus jadi kuli," kata raja-raja muda, sambil menghitung Gulden hasil sewa tanah moyangnya.
     Terus dan terus. Siklus penghisapan, siklus penindasan: berputar bagai lingkaran karma. Lucu, akhirnya, kita pun terlatih menghisap rakyat sendiri, menindas bangsa sendiri.
     Kuli itu kesayangan Tuhan. Seperti amsal tentang domba yang diselamatkan, mengapa kita harus melawan takdir yang telah digariskan?

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.