MELAYU ITU ADALAH SALAH

     Melayu itu adalah saya. Ras yang terusir dari tanah moyangnya. Bukan karena suka, ya-ya-ya, karena terpaksa kami harus arungi samudra. Anginlah yang mendidik kami belajar menerima, mengikuti arus dan menolak untuk menentangnya. Berabad kami belajar bersahabat dengan penderitaan, hingga akhirnya kami terbiasa menerima kekalahan.
     Melayu itu adalah saya. Ras yang terusir dari tanah moyangnya. Dengan mata sipit dan kulit coklat, kami terdampar hingga ke madagaskar. Kami pun jadi bangsa nyiur melambai. Terdampar di pantai-pantai tropika, segalanya terasa teramat sejuk dan santai, waktu pun terasa terhenti, selanjutnya: kami belajar mencintai tanah, belajar menyetubuhi ibu pertiwi. Angin bertiup dingin dan basah, membuat kami mengantuk. Lalu kami pun jadi bangsa yang terukutuk!
     Melayu itu adalah saya. Ras yang dikutuk dari tanah moyangnya. Kami berburu, lalu berladang. Berabad kami hidup dalam tidur panjang. Tak ada musuh datang menyerang, kami pun lupa bagaimana berperang. Lalu para saudagar dari timur itu datang, membawa dewa-dewa dan kemenyan India. Mereka pun kami terima, dengan keramahan ala tropika: selamat datang, selamat berjumpa wahai saudara.
     Melayu itu adalah saya. Ras yang dikutuk dari tanah moyangnya. Begitulah kami belajar menerima. Dengan keramahan dan senyum yang tak pernah dewasa, kami sambut juga para pengungsi dari Arabia. Mereka membawa pedang dan kitab suci di tangan, samar-samar kami pun terkenang, sejarah perlawanan para moyang sebelum tidur panjang.
     Melayu itu adalah saya. Ras yang dikutuk untuk dijajah selamanya. Lalu beribu perahu mengangkut bangsa bertopi baja, dengan semangat untuk merampas emas di tanah-tanah tropika. Terheran-heran kami saksikan, sebuah tongkat panjang mampu membunuh kepala suku, dari jarak puluhan depa. Mereka menyebutnya: senjata bermesiu. Kami pun keder dan tersipu-sipu: ya- ya- ya, tuan-tuan saudara kami juga.
     Melayu itu adalah saya. Ras yang dikutuk untuk terjajah selamanya. Lalu para pelaut berkulit putih-putih itu, mengusir kami dari tanah sendiri. Dan dimulailah sejarah eksploitasi: kami dipaksa membuka hutan, menanam karet, tembakau, dan kopi. Dengan malu-malu, kami terima dua gelar: kowe mandor, kowe kuli. Bahkan hingga kini, bahkan hingga kini!

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.