Bagi Rakyat Desa Negara Sakti
Di antara tubuh petani yang terbakar, aku melihat
kenyataan, sebara semangat, dan getar perlawanan pada nasib yang dihinakan.
Aku melihat kutukan dan karma kemiskinan: membekas hangus pada keningnya yang
terbakar. Aku melihat cinta dan harapan, aku melihat korban penindasan: pada
dadanya yang terbakar.
Angin membantai pucuk-pucuk tebu. Di sana perlawanan
itu bermula: beratus tahun yang lalu, petani-petani hina bergerak melawan kebekuan
nasibnya, melawan beribu pertanyaan yang tak kuasa dijawabnya. —Lawan-lawan-lawan!
Cangkul diayunkan, arit disambitkan, garu dilayangkan, tapi tidak ke tanah,
melainkan ke sana: ke tubuh-kaki-tangan-kepala yang telah berabad menjajah mereka.
Dan peluru-peluru panas itu, dalam kemarahan tanpa ampun, segera menjawab pertanyaan
mereka: merdeka?
Beratus tahun sesudahnya, pertanyaan itu tetap
sama, anak-cucu-cicit mereka menerima warisan yang sama: pemiskinan, pembodohan,
dan perlawanan. Siklus kekerasan yang tak habis-habisnya. Di situ: di antara
miang batang-batang tebu, di antara garang mesin pabrik-pabrik gula, penjajahan
berulang kembali. Lalu dengan tubuh kurus dan bibir bergetar, dengan melipat
rasa takutnya, petani-petani miskin itu berteriak dan bergerak maju: lawan-lawan-lawan!
Dan — tetap saja — peluru-peluru panas itu yang menjawab pertanyaan
mereka: merdeka?
Di antara tubuh petani yang terbakar, pagi itu,
aku melihat sisa spanduk, cangkul, arit, dan garu dengan bau darah, ya, aku
melihat kenyataan: selongsong peluru, poster-poster dengan tulisan arang, dan
sisa teriakan yang terus terngiang: "Kembalikan tanah nenek moyang kami!"
© Ahmad Yulden
Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.