Catatan Harian Anak Seorang Pejabat

<dd-mm-yy >
(Tahun, bulan dan tanggal yang
takkan pernah tercantum dalam
Sejarah)

Hidupku dirombak besar-besaran oleh sesuatu yang tidak jelas. Aku tak terlalu peduli, karena memang hidup ini sendiri adalah sesuatu yang tidak jelas. Tapi ketidakjelasan terkadang menyakitkan. Di sekolah teman-teman meneriakiku "PENJARA". Dan semua ini pasti karena media massa, beberapa hari ini foto ayahku terpampang di halaman depan koran-koran, dengan teknik yg entah apa namanya. Di foto itu bagian mata ayahku tertutup kain hitam, setahuku ayahku tak pernah diambil gambarnya dengan menggunakan kain hitam yang menutupi matanya. Lucu kelihatannya, tapi huruf-huruf yang tercetak besar-besar dibawah gambar itu ternyata sama sekali tak selucu yang kuduga, huruf-huruf itu mencetak nama ayahku bersama julukan barunya "SEORANG KORUPTOR". Aku jadi teringat dengan seorang dewi dari mitos Yunani kuno, Dewi Fortuna namanya, dewi keadilan yang matanya terbalut kain hitam, Dewi keadilan tak boleh melihat, hanya boleh menimbang, tapi APA KEADILAN HARUS SELALU BUTA? Bagaimana bila timbangannya dicurangi orang?. Kemarin ada orang menelepon mencari ayahku, dari kejaksaan tinggi katanya, setelah menerima telepon itu ayah lalu menemuiku sambil marah-marah, "KALAU ADA ORANG YANG MENGAKU-NGAKU DARI KEJAKSAAN TINGGI MENCARI AYAH BILANG SAJA TIDAK ADA, ORANG ITU PEMERAS!!! PEMERAS!!! MASAKKAN ORANG ITU MENYURUH AYAH MENEMUI PAK M, KEPALA KEJAKSAAN TINGGI, MEREKA PIKIR AYAH BODOH, PEMERAS!!! AYAH TAKKAN PERNAH MEMENUHI PANGGILAN YANG TAK SESUAI PROSEDUR". Kejadian semacam itu tak hanya sekali terjadi, baru-baru ini seseorang juga telah menghubungi ayahku, katanya dia anak menantu pak M, dia seorang pengacara, dia bilang bahwa dia bisa BERBUAT SESUATU untuk ayahku, "30 juta saja pak, katanya!!!". Sungguh mengerikan memang , tapi kurasa orang-orang itu bukan manusia, mereka serigala

Peristiwa-peristiwa diatas memang tak pernah tertulis di media massa, hanya ada dalam jurnalku, lagipula untuk apa ditulis, orang-orang takkan percaya, semua ini adalah masalah kepercayaan saja. Koran-koran itu terlalu naif, mereka pikir telah menyuarakan kebenaran, mereka hanya ingin berbicara seenak perut mereka saja, tanpa pernah berpikir menggunakan logika, tanpa pernah tau apa arti nama baik seseorang.Tapi aku mengerti dalam bisnis orang tentu mengutamakan omzet. Di sekolah aku pernah belajar tentang asas praduga tak bersalah yang berlaku di negara kita Indonesia, sebenarnya aku tak terlalu setuju dengan asas itu, bahkan aku mendebat guruku yg mengajarkan asas itu "Pak guru, asas itu, hanya akan menjadi pembelaan bagi penjahat-penjahat itu, orang-orang yang bersalah", guruku yang bijaksana hanya tersenyum sambil berkata, "Bagaimana dengan orang yang tak bersalah?", akupun cuma terdiam tapi belum juga paham. Suatu waktu aku membaca buku karangan penulis kesayanganku Pramoedya.A.T. beliau bilang bahwa "ORANG YANG TERPELAJAR ADALAH ORANG YANG ADIL SEJAK DARI DALAM PIKIRAN SAMPAI KEPADA PERBUATAN." Disitulah aku mengerti, bahwa kita tidak lagi hidup di zaman jahiliyah yang hanya menduga-duga dan mereka-reka, kita hidup di zaman reformasi, dimana semuanya jelas dan transparan(tanpa harus kebablasan) karena memerlukan bukti-bukti, Zaman dimana hukum berkuasa. Dan zaman ini juga yang menjadikan semua yang mengatasnamakan hukum adalah mulia. Masyarakat mulai memimpikan suatu Utopia, semua menjadi serba rancu, kita tak pernah tau siapa yang harus kita percaya, aku sendiri tak pernah tau, apa ayahku, kejaksaan tinggi, media massa , atau apapun dibalik semua itu yang tak pernah kami sadari sebelumnya. Tapi PERSETAN DENGAN SEMUA ITU.

Sekarang ini rumahku berada dalam keadaan genting, semuanya serba suram, semuanya masih saja suka tertawa, tapi tawa yang pura-pura, aku bisa merasakannya. Ayahku kehilangan hampir semua yang dia miliki, nama baiknya, dan kepercayaannya. Sedangkan aku kehilangan kebebasanku untuk sekedar berjalan-jalan di tengah kota yang aku cintai ini,aku kehilangan kepercayaanku, kepercayaanku terhadap apapun.Kami merasa ditipu oleh sesuatu yang tak pernah kami tau.Banyak hal telah dirampas dari kami yang bahkan takkan pernah tergantikan dengan imbalan apapun. Tapi aku takkan pernah membenci orang-orang yang membenci ayahku, juga temen-teman sekolah yang meneriakkan kata "PENJARA" padaku. Aku tau banyak hal juga telah dirampas dari mereka, rasa percaya mereka, hak mereka sebagai rakyat yang mungkin tak pernah mereka kecap, karena pemerintahan yang makin semrawut saja.Orang-orang terjebak dalam stereotip pemerintahan mereka masing-masing. Dan semua jadi serba suram, tak dapat lagi kami melihat apa yang sebenarnya terjadi, seperti dewi keadilan yang matanya tertutup kain hitam. Dan aku percaya kalau dalam kegelapan dan kesuraman ini ada orang yang tertawa-tawa senang, semoga orang itu dimaafkan Tuhan.Dan untuk kita orang-orang yang kehilangan, TUHAN PASTI MEMUNCULKAN KEBENARAN MU SEPERTI TERANG".

Ayahku bilang, bahwa semua ini akan membawa kita pada suatu perubahan. Dan aku bangga padanya, karena walau telah kehilangan segalanya, tapi ayahku takkan pernah kehilangan kehormatan dan harga dirinya. Kejadian inipun telah mengubah diriku yang rapuh menjadi diriku yang lebih kuat, aku telah mulai dapat melihat dunia nyata yang sebenarnya.

Di jurnal ini aku bebas menuliskan segalanya, tak ada yang dapat memberangusku, atau menuntutku, ini hakku.Aku memang tak mengerti apa-apa, aku hanya menulis yang ingin kutulis, aku tak tahu apa ini benar atau salah, aku juga tak tau siapa yang harus aku percaya . Aku hanya ingin menulis saja, lagi pula tak ada yang akan pernah tau kejadian yang sebenarnya, jurnal ini adalah saksi hal-hal yang bahkan tak pernah tertulis di media massa.


SCHEREZADE


(Kisah ini hanyalah karangan dan fiktif belaka, bila ada kesamaan tempat, waktu dan kejadian, maaf saja itu bukan urusan saya! Bila ada yang tersinggung karena disebutkan namanya, jangan GR ya! Saya tak pernah menyebutkan nama. Kisah ini hanya terjadi di sebuah negeri antah berantah)

S E K I A N

Daftar Isi


© Jermia. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.