SURAT BUAT REDAKTUR BUDAYA
Dengan hormat,
Seperti biasa, kau akan selalu
bimbang mengambil putusan. Hari-harimu terus-terusan dikejar bayang-bayang, dead line, kematian,
entah apa
lagi. Mendadak hari-hari jadi
demam, membaca setumpuk kalimat lelah, hingga menyilet
dadamu, diam-diam. Luka itu makin
membesar. Lalu,
kau akan
duduk batu diam, di depan
layar komputer atau sesekali membolak-balik
kertas yang terasa begitu kumuh, sambil
menahan linu retina yang
mulai berair dan
membasah—tangan yang mendingin, berkaca pada tumpukan naskah,
amplop-amplop surat yang belum terbuka.
Kemudian kau akan berteriak
lagi: tentang sunyi yang perih. Tentang malam yang kau lalui dengan kantuk
yang amat sangat.
Tentang kenangan yang mengendap.
Tentang gumam. Sunyi yang tak pernah
selesai kau apungkan. Menatap ruang redaksi yang kecil dan pengap,
asap rokok
yang jadi kabut, gelas-gelas kopi, disket yang mendingin, wartawan yang tak kembali sehabis
hujan malam tadi. Sesekali, kau ingin pergi memburu berita-berita
seni yang lari dan masih saja
kau ingat, meninggalkan tumpukan naskah itu, belum
sempat sepenuhnya dibaca. Lalu, merenung sendiri,
membiarkan badanmu gemetar oleh cuaca.
Entah,
siapa lagi yang mesti dinaikkan besok, sehabis minggu berganti dengan minggu. Waktu seperti mengejarmu, hingga kau tersengal.
Nama-nama
seseorang yang terlanjur lama dikenal, atau yang seketika luput, semaput, lenyap bagai kabut. Di antara pentas teater, pembacaan puisi, atau ruang
diskusi seni yang semakin kerdil dan hampa, ditinggalkan orang. Mendadak,
kau merasa begitu tua, begitu lelah, tak punya pengetahuan, juga teori-teori
yang selalu tertulis di dalam buku. Nyatanya, kalimat-kalimat di naskah itu
terus saja menghuni kepalamu, menelusuri setiap jalan gelap, yang seketika
menjadi besar. Membuatmu meradang sambil terkantuk, terkadang kau sedikit
menyesal, akan tingkah laku seniman yang bebal, mirip seperti bayangan dirimu
di masa lalu. Tak tahu buat siapa. Kau?
-mengapa ribuan sajak,
ratusan cerpen dan esai mesti ditulis: buat apa?-
(kemudian dipergunjingkan, dibahas, dicemooh, disulap jadi rahasia
yang tak bisa bulat atawa lengkap?)
di antara kantuk
dan mesin pendingin
ruangan yang menusuk nyali, kau terus
bergumam. Akan
kuberikan pada siapa saja lembaran
seni ini, supaya lelah menghilang,
supaya aku bisa tidur panjang.
Seperti irisan kue ulang
tahun, yang harus diiris tiap minggu. Alangkah menyakitkan!
Alangkah lezatnya! Honor
demi honor yang terus saja terkucur.
Seperti
biasa, aku juga telah lama tahu, kau akan terus menafsir. Terkadang merasa
begitu keliru. Toh, ini hanya produk manusia, gumammu
Pada gumpal cuaca yang
kelabu. Setumpuk naskah, catatan
alamat, biografi seseorang, dan nomor telepon, hingga napasmu mendadak sengal dan buntu
Di
minggu pagi:
-mengapa mesti nama
itu yang tertera di situ?-
bukan dia (?)
pada suatu minggu pagi:
orang-orang lapar berita. Melipat resah, bersenda dengan keluarga,
lebih banyak tidur-tiduran di rumah, memandang cuaca yang berubah, dan kalau
masih sempat menandai hari-hari yang lelah. Kau merasa begitu bahagia jikalau
ada pembaca yang protes dengan rubrik yang kau susun, kemudian menulis surat
padamu penuh dengan kalimat makian.
Itu tandanya ada yang
membaca, gumammu
Bukankah budaya baca adalah gejala yang langka di tanah ini? Semenjak kekerasan
tumbuh dan menjadi ilalang di jalan-jalan, seperti juga kau yang merasa begitu
bangga:
Memberikan jatah rubrikmu
kepada orang-orang yang terlalu sering diraciki perih, orang-orang yang sedikit
gila, orang-orang yang gelisah pada dunia
Sementara,
hari minggu akan terus datang. Menunggu di depan. Kau merasa ngungun di genangan
naskah yang penuh air mata dan darah, yang tak semuanya sempat kau baca!
Hormat saya,
Pembaca rubrikmu
Bandar
Lampung, Kedaton, Januari 2003